KOMPAS.com —
Jumat (28/9), usahawan properti, Eiffel Tedja, tampak kikuk ketika seorang
teman dekatnya bertanya tentang harga apartemen di Gandaria City, Jakarta.
Setelah menghela napas sejenak, ia menyatakan tidak hafal harga rumah dan
apartemen. Akan tetapi, ia akan meminta seorang direkturnya mengontak teman
tersebut.
Kepada Kompas,
Eiffel menyatakan acap kikuk kalau ditanya soal harga apartemen. Ini semata
karena harga produk tersebut tengah meluncur ke langit. Tiga tahun silam, harga
apartemen yang ditanyakan temannya masih pada angka Rp 2,6 miliar per unit.
Kini, harga apartemen dengan luas 210 meter persegi itu sudah menembus angka Rp
6,2 miliar. Apartemen dengan luas 70 meter persegi, yang dua atau tiga tahun
silam ”hanya” Rp 1,3 miliar, kini sudah meluncur ke angka Rp 3 miliar. Ini
sebabnya Eiffel menghindar menjawab soal harga. Ia agak rikuh kepada temannya.
Harga apartemen sudah terlampau mahal, menurut ukuran umum.
Harga rumah (landed house)
dan apartemen memang luar biasa mahalnya kini. Di Surabaya, harga rumah ”makin
gila dan liar”. Satu unit rumah berukuran 150 meter persegi di Surabaya barat
lima tahun silam ”hanya” Rp 1,9 miliar, tetapi kini mencapai Rp 4,6 miliar. Di
Serpong, Tangerang, lima tahun lalu harga tanah ”hanya” Rp 5 juta per meter
persegi, tetapi kini Rp 40 juta per meter persegi. Artinya, kalau kita hendak membeli
kapling saja, sebutlah seluas 300 meter persegi, kita sudah mesti mengeluarkan
dana sebesar Rp 12 miliar. Ini baru tanah, belum bangunannya. Bukan main.
Di DKI Jakarta, terutama yang berada di lokasi strategis,
harga lebih liar lagi. Harga satu meter persegi tanah bisa mencapai Rp 75 juta.
Kalau hendak membeli tanah seluas 1.000 meter persegi, ya, bayangkanlah
sendiri.
Hal yang menakjubkan. Bagaimanapun mahalnya harga, rumah
dan apartemen tersebut selalu laku terjual. Di sisi lain, tabiat warga DKI
Jakarta dan sekitarnya memang aneh. Semakin mahal sebuah produk properti,
semakin larislah ia. Bayangkan, rumah dengan harga Rp 6 miliar, bahkan Rp 10
miliar, bisa disambar pembeli tanpa berkedip.
Fakta yang menarik adalah uang yang dipegang warga kelas
menengah ke atas masih tebal. Produk demi produk diluncurkan, mereka tetap
mempunyai energi cukup untuk membeli produk baru. Mereka, kaum menengah dan
menengah ke atas, memang tidak semuanya membeli rumah atau apartemen untuk
dihuni. Sebagian di antara mereka membeli untuk investasi. Investasi itu
dilepas satu sampai lima tahun kemudian ketika harga sudah melambung jauh.
Sebagai contoh, modal hanya Rp 3
miliar, ketika rumah hendak dilepas lima tahun kemudian, harganya sudah
mencapai Rp 6 miliar. Peningkatan harga dengan margin Rp 3 miliar memang ”biasa
saja” kalau yang dijual hanya satu unit. Namun, kalau mencapai 30 rumah,
investornya pesta besar. Dalam tempo tiga tahun, ia meraup hampir Rp 100
miliar. Padahal, bisnis ini tidak memerlukan kecerdasan yang menonjol. Hal yang
hendak digarisbawahi di sini adalah semakin liarnya harga rumah dan apartemen
membuat warga dengan penghasilan pas-pasan makin tertinggal. Mereka hanya bisa
membeli rumah atau apartemen dengan label ”pinggiran”, ”marjinal”, atau ”rumah
sederhana”. Hendak masuk ke wilayah strategis makin sulit karena harga makin
liar dan merengkuh langit.
Ini sebuah sinyal pasar yang perlu diamati pemerintah.
Langkah yang perlu adalah bagaimana agar kawasan strategis bukan hanya milik
kaum berduit, melainkan juga warga bersahaja, warga dengan kemampuan ekonomi di
bawah kelas menengah. (Abun Sanda)
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/01/12470630/Harga.Properti.Makin.Liar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar